cover
Contact Name
Sandy Theresia
Contact Email
sandytheresia.md@gmail.com
Phone
+6285350877763
Journal Mail Official
journalmanager@macc.perdatin.org
Editorial Address
Jl. Cempaka Putih Tengah II No. 2A, Cempaka Putih, Central Jakarta City, Jakarta 10510
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Majalah Anestesia & Critical Care (MACC)
Published by Perdatin Jaya
ISSN : -     EISSN : 25027999     DOI : https://doi.org/10.55497/majanestcricar.xxxxx.xxx
Core Subject : Health,
We receive clinical research, experimental research, case reports, and reviews in the scope of all anesthesiology sections.
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 41 No 3 (2023): Oktober" : 10 Documents clear
Plasmapheresis in Myasthenia Gravis Crisis Alegra Rifani Masharto; Bastian Lubis; Andriamuri Primaputra Lubis; Rommy Nadeak
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 3 (2023): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i3.290

Abstract

Introduction: Myasthenic crisis is the most lethal complication of myasthenia gravis. Referral to an intensive care unit is crucial in managing the myasthenic crisis. Hereby, we report a case of a myasthenic crisis in a 30-year-old female who underwent plasmapheresis. The patient underwent a 12-hour procedure for plasmapheresis and was discharged to a normal ward the next day. Although plasmapheresis is costly, its efficacy should be considered as the main treatment for myasthenic crisis. Case Illustration: Female, 30 years old, weighed 60 kgs, with myasthenia crisis. The patient came to an emergency department and was then intubated before being admitted to the intensive care unit. The physical diagnostic was normal and laboratory findings were leukocytosis. The patient was treated with normal saline, antibiotics, high-dose corticosteroids, and pyridostigmine. The patient was done plasmapheresis with synchronized intermittent mandatory ventilator mode. The patient was examined every 30 minutes. The physical examinations were relatively normal. The plasmapheresis procedure was ended in 12 hours. From the literature, plasmapheresis was found to have significant results for myasthenia gravis compared to conventional therapy because of its blood separation technique to remove autoantibodies. The next day patient was extubated with normal physical examinations and normal laboratory findings. The patient then moved from the intensive care unit to the normal ward and outpatient on the third day of hospital stay. The patient was given oral medicine that included antibiotics, corticosteroids, and pyridostigmine. Conclusion: From this case, we can see that plasmapheresis therapy has a really good outcome compared to other conventional therapy. However this therapy is expensive, so most healthcare providers don’t cover the payment. Hopefully, most hospitals and healthcare providers can cover up for this treatment to save many myasthenia gravis crisis. Keyword: Intensive Care Unit; myasthenic crisis; myasthenia gravis; plasmapheresis; treatment efficacy
Perbedaan Konsentrasi Levobupivakain Isobarik pada Blok Transverse Abdominis Plane terhadap Intensitas Nyeri dan Kadar Beta Endorfin pada Pasien Pasca Seksio Sesarea Lienardy Prawira; Andi Muhammad Takdir Musba; Alamsyah Ambo Ala Husain; Syafruddin Gaus; Nur Surya Wirawan; Andi Adil
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 3 (2023): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i3.299

Abstract

Latar Belakang: Blok Tranversus Abdominis Plane (TAP) menjadi salah satu pilihan ketika ada kontraindikasi penggunaan morfin intratekal sebagai tatalaksana nyeri pasca seksio sesarea (SC). Konsentrasi anestesi lokal yang optimal untuk blok TAP hingga saat ini belum memiliki pedoman baku. Penelitian ini membandingkan pengaruh perbedaan konsentrasi levobupivakain isobarik 0,125% dan 0,25% pada blok TAP terhadap intensitas nyeri dan kadar beta endorfin dalam serum darah pasca SC. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain eksperimental menggunakan rancangan acak tersamar ganda. Populasi penelitian adalah pasien gravida yang menjalani SC elektif dengan anestesi spinal, kemudian dibagi secara acak melalui komputer menjadi kelompok kontrol (levobupivakain isobarik 0,25%) dan kelompok perlakuan (levobupivakain isobarik 0,125%). Analgetik pasca bedah kedua kelompok diberikan dexketoprofen intravena dan paracetamol oral. Intensitas nyeri pasca bedah dinilai dengan numerical rating scale (NRS) pada jam ke-2, 4, 6, 8, 12 dan 24. Kadar beta endorfin dalam serum darah diperiksa sebelum dilakukan blok, jam ke 8 dan 24 pascablok TAP. Waktu pertama rescue analgetik dan total konsumsi opioid 24 jam pasca bedah dicatat. Hasil: Tidak didapatkan perbedaan signifikan pada perbandingan nilai NRS pada jam ke-2, 4, 6, 8, 12 dan 24 antar kelompok (p>0,05). Perubahan kadar beta endorfin dalam serum darah tidak didapatkan perbedaan signifikan pada tiap waktu pengukuran per kelompok dan antar kelompok (p>0,05). Tidak didapatkan adanya rescue analgetik 24 jam pasca bedah. Simpulan: Blok TAP menggunakan anestetik lokal levobupivakain isobarik 0,125% dan 0,25% pada pasien pascapembedahan SC memiliki intensitas nyeri dan perubahan kadar beta endorfin yang sama.
Hubungan Neutrophil-Lymphocyte Ratio dengan Kejadian Acute Kidney Injury Pada Pasien Sepsis yang Dirawat di Intensive Care Unit (ICU) Abd Qadir Jaelani; Syafri Kamsul Arif; Faisal Muchtar; Haizah Nurdin; Syamsul Hilal Salam; Andi Husni Tanra
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 3 (2023): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i3.304

Abstract

Latar Belakang: Gagal Ginjal Akut (Acute Kidney Injury/AKI) adalah salah satu komplikasi yang umum dijumpai pada pasien dengan penyakit kritis di unit perawatan intensif (ICU). AKI merupakan komplikasi utama dari sepsis dan syok sepsis. Neutrophil-to-Lymphocyte Ratio (NLR) adalah penanda pengganti untuk respon inflamasi sistemik yang tersedia secara luas dan murah. Studi mengenai nilai diagnostik NLR dalam mendeteksi kejadian AKI masih terbatas dan hanya sedikit diketahui nilai klinis NLR terhadap pasien AKI sepsis. Tujuan: Mengetahui hubungan antara NLR dengan kejadian AKI pada pasien sepsis yang menjalani perawatan di ICU. Subjek dan Metode: Metode kohort retrospektif diaplikasikan dalam penelitian ini terhadap 80 pasien sepsis yang dirawat di ICU RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo (RSWS) Makassar sejak Januari 2019 – Desember 2021 yang dibagi dalam 40 sampel kelompok AKI dan 40 sampel non AKI. Sampel dikumpulkan dari data rekam medik pasien selama bulan Juli – September 2022. SPSS 25.0 dipakai untuk mengenalisis data dengan pengujian statistik Mann-Whitney, Chi-Square dengan level signifikansi α=0,05 dan analisis Kurva ROC. Hasil: Ditemukan perbedaan yang signifikan dari nilai NLR dan kadar kreatinin hari pertama dan ketiga pada kelompok AKI dan non-AKI (p<0.001). Terdapat penurunan nilai NLR yang signifikan jika dibandingkan antara hari pertama dan ketiga pada Kelompok AKI dengan nilai p= 0.001. Pada hari pertama dan ketiga terdapat korelasi antara nilai NLR dan kejadian AKI dengan hubungan linier sedang (r=0.577 dan r=0.534, berurutan). Uji ROC Curve dan Youden Index menunjukkan nilai cut off NLR untuk dapat memprediksi AKI yakni 15.15 dengan sensitivitas 70% dan spesifisitas 90%. Simpulan: Nilai NLR yang diukur pada 24 jam saat masuk ICU dapat menjadi prediktor terjadinya AKI sepsis, sehingga dapat dimasukkan dalam pemeriksaan rutin untuk deteksi dini terjadinya AKI sepsis pada penderita sepsis yang menjalani perawatan di ICU.
Gambaran Trakeostomi terhadap Length of Stay Pasien yang Dirawat di ICU RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2021 Veny Putri Berutu; Bastian Lubis
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 3 (2023): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i3.305

Abstract

Pendahuluan: Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang ditujukan untuk observasi, perawatan, dan terapi pasien yang menderita penyakit berpotensi mengancam nyawa. Kriteria pasien yang berada di ICU adalah pasien sakit kritis dengan ketidakstabilan atau kegagalan sistem organ dan memiliki length of stay (LOS) yang relatif lama serta memerlukan bantuan alat seperti ventilator. Untuk meningkatkan kualitas perawatan medis, tujuan utama dalam perawatan intensif adalah untuk mengurangi LOS. Trakeostomi adalah salah satu prosedur di unit perawatan intensif yang paling umum dilakukan. Keuntungan yang didapat yaitu dapat menurunkan LOS ICU, meningkatkan kenyamanan pasien dan manajemen jalan napas yang lebih baik. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional. Metode pengumpulan data dengan menggunakan data rekam medik. Metode pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling. Hasil: Hasil penelitian terhadap pasien ICU yang terpasang ventilator di RSUP HAM Medan didapatkan sebanyak 46 orang (70,2%) yang tidak ditrakeostomi dan 19 orang (29,2%) yang ditrakeostomi. Rata-rata LOS pasien yang ditrakeostomi yaitu 19 hari dan rata-rata LOS pasien yang tidak ditrakeostomi yaitu 11 hari. Simpulan: Rata-rata LOS pasien ICU yang terpasang ventilator di RSUP HAM Medan lebih besar pada pasien yang ditrakeostomi. Kata kunci: ICU; intubasi; LOS; trakeostomi; ventilator
Perbandingan Dexmedetomidine 1 mcg/kgBB Intravena Dan Fentanyl 2 mcg/kgBB Intravena Terhadap Mula Kerja, Efek Hemodinamik Dan Waktu Pulih Sadar Selama Anestesi Endoskopi Retrograde Cholangiopancreatography Asnurhazmi Hilaluddin Mufti; Wahyudi; A.M. Takdir Musba; Syamsul Hilal Salam; Faisal Muchtar; Madonna D. Datu
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 3 (2023): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i3.306

Abstract

Latar Belakang: Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) adalah prosedur diagnostik dan terapeutik untuk evaluasi penyakit bilier dan pankreas. Dexmedetomidine mengurangi kebutuhan propofol selama anestesi. Kombinasi propofol dan fentanil memberikan efek analgesik sentral terutama dengan mengaktifkan reseptor µ-opioid, yang terutama didistribusikan di area yang berhubungan dengan nyeri, pernapasan, mual, dan muntah. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pemberian dexmedetomidine intravena dan fentanyl intravena terhadap mula kerja, efek hemodinamik dan waktu pulih sadar selama anestesi ERCP. Metode: Penelitian uji acak tersamar ganda terhadap 42 pasien yang menjalani prosedur ERCP dengan anestesi umum di Instalasi Gastroenterohepatologi RSUP Wahidin Soedirohusodo bulan Agustus-September 2022. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok A (Dexmedetomidine) dan kelompok B (Fentanyl). Hasil: Pada kedua kelompok masing-masing 21 orang tiap kelompok, mula kerja dan pulih sadar didapatkan perbedaan yang bermakna pada mula kerja dengan nilai p <0,001, sedangkan pada pulih sadar dengan nilai p 0,022, sehingga dapat dikatakan ada perbedaan pada mula kerja dan pulih sadar antara kedua kelompok. Terdapat perbedaan bermakna pada kejadian penurunan tekanan arteri rerata (TAR) dengan p= 0,030, kejadian bradikardi dengan nilai p =0,014, dan pada kejadian bradipneu pada kedua kelompok dengan nilai p = 0,004, sehingga dapat dikatakan ada perbedaan efek hemodinamik antara kedua kelompok. Efek samping didapatkan perbedaan yang bermakna pada kejadian mual dengan nilai p = 0,014. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada kejadian muntah dengan nilai p = 1,000, dan nyeri kepala dengan nilai p = 0,311. Simpulan: Kelompok dexmedetomidine-propofol lebih cepat mula kerja dibandingkan dengan kelompok fentanyl-propofol, sedangkan pada waktu pulih sadar kelompok dexmedetomidine-propofol lebih lambat. Kelompok dexmedetomidine-propofol lebih kurang mengalami penurunan TAR, lebih banyak kejadian bradikardi, dan lebih kurang kejadian bradipneu dibandingkan dengan kelompok fentanyl-propofol. Kelompok dexmedetomidine-propofol lebih kurang mengalami kejadian mual dibanding kelompok fentanyl-propofol, namun tidak terjadi perbedaan antar kelompok dalam kejadian muntah dan nyeri kepala.
Blok Pleksus Brakhialis Supraklavikula Pada Kasus Neglected Fracture Distal Radius dan Ulna Dekstra Pinky Pradika Shandy; Agus Suarsedana
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 3 (2023): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i3.307

Abstract

Pendahuluan: Salah satu teknik anestesi regional yang dapat digunakan pada operasi di daerah ekstremitas atas adalah blok saraf perifer supraklavikula, teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Kulenkampff pada tahun 1911. Pemilihan teknik ini didasarkan pada kebutuhan anestesi dan analgesi ekstremitas atas. Ilustrasi Kasus: Seorang perempuan usia 16 tahun, hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien terjatuh dari sepeda motor ke sisi kanan dengan menggunakan tangan kanan sebagai tumpuan dan hanya menjalani pengobatan alternatif. Dua bulan kemudian pasien mengeluh pergelangan tangan kanannya semakin bengkak dan nyeri. Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, laju nadi 88 x/menit, kecepatan respirasi 20 x/menit dan suhu tubuh 36 oC. Status lokalis di Wrist Joint Dextra tidak ada luka terbuka, bengkak (+), krepitasi (+), deformitas (+), pulsasi arteri distal (+), Range of Motion (ROM) terbatas. Pasien didiagnosa neglected fracture pada distal radius dan ulna dekstra. Pasien dipremedikasi dengan difenhidramin, deksametason, ondansetron, midazolam, dan fentanil. Dilakukan blok pleksus brakhialis supraklavikular pendekatan vertikal dengan stimuplex A 50 mm 22 gauge insulated needle short level. Obat anestesi yang dipakai adalah lidokain dan levobupivakain. Pada pasien didapatkan total blok selama 40 menit. Simpulan: Blok pleksus brakialis supraklavikula dapat menjadi salah satu pertimbangan teknik anestesi regional untuk ekstremitas atas yang mempunyai tingkat keberhasilan tinggi dan distribusi blok yang optimal. Kata Kunci : blok; brakialis; fraktur; regional; supraklavikula
Machine Learning as Our Weapon to Become Anesthesiologist 5.0 Marilaeta Cindryani Ra Ratumasa; MA Kresna Sucandra; Tjahya Aryasa; IB Krisna Jaya Sutawan
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 3 (2023): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i3.319

Abstract

Machine learning is one of the most renowned things that have emerged in the last five years in medicine. The machine is made as if it has the cognitive ability to think independently, is able to distinguish incoming inputs and get the desired output. Along with the development of statistical and computer science, machine learning has evolved into a distinct subfield within the broader domain of data science, with far-reaching implications for various sectors, including healthcare. In medical science, technology and artificial intelligence are starting to take over anesthetic services. This paradigm shift necessitates a fundamental change in the role of future anesthesiologists A future anesthesiologist will need to continuously monitor and evaluate the performance of data science and artificial intelligence systems, and make adjustments when necessary to improve impact on patient care and outcomes. Anesthesiologists of the future will need to harness the power of data science and artificial intelligence to enhance patient care continually, emphasizing adaptability and collaboration as key elements in delivering improved healthcare outcomes.
Quadratus Lumborum Block (QLB) pada Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL): Tinjauan Sistematik dan Meta-Analisis Vanessa Juventia Hadiwijono; Marilaeta Cindryani Ra Ratumasa
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 3 (2023): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i3.320

Abstract

Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) merupakan metode endoskopik untuk manajamen nefrolitiasis yang lebih tidak invasif, namun tetap bisa menyebabkan nyeri pasca operatif yang mempengaruhi morbiditas. Quadratus lumborum block (QLB) adalah blok pada posterior dinding abdominal. Hingga kini, blok ini sudah dimodifikasi menjadi empat pendekatan serta dilakukan pada beragam pembedahan seperti pembedahan sesar, muskuloskeletal, hingga nefrolitotomi. Melalui tinjauan ini penulis hendak meringkas efikasi dari QLB pada PCNL dilihat dari penggunaan morfin dan nilai Visual Analog Scale (VAS) 24 jam pasca operatif dan ke depannya dapat diaplikasikan secara klinis. Tinjauan sistematis ini dibuat berdasarkan Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analysis (PRISMA) dan dianalisis dengan Review Manager (versi 5.4). Lima Randomized Control Trial (RCT) dari tahun 2018-2023 dilibatkan. Risiko bias dianalisis dengan plot funnel dan tes I2 untuk heterogenitas. Perbedaan standar rata-rata dilaporkan bermakna apabila p<0,05 dengan interval kepercayaan 95%. Hasil analisis komparatif pada penggunaan opioid (SMD=2,44 IK95%=2,09-2,79 p<0,00001 I2=94%) dan VAS (SMD=2,10 95% IK95%=1,74-2,45 p<0,00001 I2=93%) 24 jam pasca operatif menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik. Studi ini mendapatkan perbedaan rata-rata yang signifikan pada penggunaan opioid dan penilaian VAS 24 jam pasca operasi pada pasien yang menjalani PCNL dengan QLB. Namun, pertimbangan ulang diperlukan untuk implentasi klinis mengingat heterogenitasnya yang cukup tinggi. ditambah dengan parasetamol 1000 mg.
Prediktor Luaran Pada Cedera Kepala: Laporan Kasus Berbasis Bukti Riyadh Firdaus; Girhanif Amri Yunda; Krissa Devani; Yohanes Gunanta
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 3 (2023): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i3.366

Abstract

Pendahuluan: Cedera kepala masih menjadi tantangan besar di dunia. Jumlahnya menyumbang mortalitas dan morbiditas lebih banyak dibandingkan dengan jenis trauma lain. Pada cedera kepala, prakiraan luaran merupakan satu hal yang sering didebatkan dan prediksi luaran pasien penting untuk menentukan keputusan klinis dokter. Pencarian literatur dilakukan sesuai pertanyaan klinis dan terstruktur menggunakan Cochrane Library® dan PubMed®. Presentasi Kasus: Seorang laki-laki 28 tahun dibawa ke instalasi gawat darurat dengan keluhan utama ditemukan tidak sadar di jalan selama 3 jam karena kecelakaan lalu lintas. Nilai GCS saat datang ke instalasi gawat darurat (IGD) E1M2V2. Pada saat penanganan di IGD terjadi perbaikan GCS menjadi E2M4Vett setelah pemberian manitol. Dilakukan CT scan (Computed Tomographic scan) ditemukan perdarahan epidural, perdarahan subdural dengan herniasi subfalcine 0,7 cm, dan fraktur multipel wajah. Selanjutnya diputuskan untuk tindakan kraniotomi dekompresi dan debridement. Pasien diintubasi dan diberikan cairan kristaloid serta transfusi darah selama persiapan preoperatif hingga hemodinamik stabil. Dilakukan pembiusan umum dan pasien diposisikan terlentang dengan elevasi kepala 30 derajat. Selama intraoperatif, hemodinamik pasien dijaga dengan kecukupan cairan maintenance dan produk darah tanpa menggunakan obat topangan. Pascaoperasi pasien dirawat di intensive care unit (ICU) selama 7 hari. Simpulan: Luaran buruk dan mortalitas cedera kepala dapat diprediksi secara klinis dengan melihat adanya hipotensi, perdarahan epidural, pembengkakan cisterna, skor Full Outline of Unresponsiveness (FOUR), Glasgow Coma Scale (GCS) terutama motorik, Abbreviated Injury Scale – Head (AIS-H), skoring radiologis CT (Computed Tomographic) dengan skor Marshall atau Rotterdam, serta uji yang sudah divalidasi dengan International Mission on Prognosis and Analysis of Clinical trials in Traumatic brain injury Extended (IMPACT-E). Kata kunci: cedera kepala; Evidence-based Medicine; mortalitas; penilaian klinis; prediktor luaran.
Neutrophil-to-Lymphocyte Ratio (NLR) pada Acute Kidney Injury (AKI) : Jebakan Biomarka Serbaguna Marilaeta Cindryani
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 3 (2023): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i3.379

Abstract

Pada masa sekarang ini di mana kebutuhan akan terapi yang menyesuaikan dengan individu yang semakin presisi, keberadaan marka atau suatu penanda akan gejala penyakit sedini mungkin akan sangat membantu untuk mendeteksi penyakit dan ketepatan terapi. Unit rawat kritis (Intensive Care Unit/ICU) menjadi salah satu unit yang memerlukan kecepatan dan ketepatan usulan terapi yang didasarkan pada diagnosis sedini mungkin. Unit ini menjadi lokasi di mana terdapat penggunaan banyak biomarka demi pemantauan dan diagnostik berkelanjutan. Kendala dari pemakaian biomarka adalah variabilitas biomarka yang berlimpah, kurangnya familiaritas terhadap pemakaian dan keterbatasan sediaan di seluruh tempat yang dirasakan memerlukan. Sebab semakin sederhana dan efisien suatu biomarka akan sangat membantu demi efektivitas layanan dan terapi, sehingga pencarian akan biomarka yang bersifat serbaguna dan multipotensial masih menjadi tantangan dunia kedokteran sampai saat ini.1

Page 1 of 1 | Total Record : 10